Jumat, 29 November 2013

Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat

Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat 
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM.

Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup.

Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi pada saat lahir dan balita.

United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus kehidupan. Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu mendapat perhatian pada upaya perbaikan gizi. Pada bagan 1 ini diperlihatkan juga faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang, dan lain-lain yang pada akhirnya berdampak pada kematian. Untuk lebih jelas mengetahui faktor penyebab masalah gizi, bagan 2 (Unicef, 1998) menunjukkan secara sistimatis determinan yang berpengaruh pada masalah gizi yang dapat terjadi pada masyarakat. Sehingga upaya perbaikan gizi akan lebih efektif dengan selalu mengkaji faktor penyebab tersebut.

Uraian berikut ini merupakan kajian status gizi dan kesehatan penduduk yang menunjukkan fakta yang terjadi pada masyarakat Indonesia disertai dengan faktor penyebabnya. Prevalensi status gizi dan kesehatan diterjemahkan ke jumlah penduduk, dan angka prevalensi tahun terakhir digunakan untuk proyeksi sampai tahun 2015. Kajian ini diakhiri dengan rekomendasi untuk alternatif intervensi pada masa yang akan datang.

Bagan Gizi menurut daur kehidupan

Bagian Penyebab kurang gizi

Dasar Analisis

Analisis dilakukan berdasarkan data survei dan laporan yang ada sampai dengan tahun 2003, sebagai berikut: 
1. Data antropometri balita dari Susenas 1989 sampai dengan 2003
2. Data antropometri tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS) 1994 dan 1999
3. Data survei Indeks Massa Tubuh (IMT) di seluruh ibu kota provinsi, 1997
4. Data survei dari NSS/HKI
5. Data Survei Vitamin A (Suvita) 1978 dan 1992
6. Data survei anemia, SKRT 1995 dan 2001
7. Data survei Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) sampai dengan 2003
8. Data kor Susenas 1995, 2000, 2003
9. End Decade Statistical report. BPS-UNICEF 2000
10. Laporan analisis status gizi dan kesehatan ibu dan anak, SKRT 2001
11. Indonesian Human Development Report, 2001
12. Laporan Studi Mortalitas 2001
13. Laporan studi angka kematian ibu, 2003
14. Laporan kemiskinan, BPS 2002
15. Data pemetaan pangan, gizi dan kemiskinan, 2002
16. Laporan SDKI 2002

Selanjutnya analisis memperhatikan transisi demografi, terutama yang terjadi berdasarkan sensus penduduk 1990 dan 2000. Figure 1 memperlihatkan kecenderungan komposisi penduduk menurut kelompok umur. Transisi demografi yang pada tahun 1990 masih didominasi oleh kelompok usia muda pada piramida tahun 2000 sudah bergeser pada kelompok usia yang lebih tua. 

Figure Piramid penduduk 1990 dan 2000

sumber: BPS, SP 1990 dan SP 2000

figure 2 memperjelas kecenderungan perubahan proporsi kelompok umur dari sensus penduduk 1970 sampai dengan 2000. Informasi kecenderungan penduduk ini menjadi penting untuk intervensi yang akan datang dan tidak saja bertumpu pada kesehatan dan gizi balita, tapi pada kelompok umur lainnya yaitu usia produktif dan usia 50 tahun keatas yang proporsinya terus meningkat. Diperkirakan pada tahun 2025, proporsi 0-4 tahun akan menjadi 7.3%, 5-14 tahun akan menjadi 15%, 15-64 tahun menjadi 68.4%, dan usia 65+ tahun akan menjadi 9.2%.

Figure Penduduk menurut Kelompok Umur

Dimensi lain yang perlu diperhatikan untuk pelayanan kesehatan dan gizi adalah urbanisasi. Penduduk daerah perkotaan meningkat dari 17,3% di tahun 1970 menjadi 37,0% pada tahun 2000, dan menjadi 42% pada tahun 2003. Semakin meningkatknya penduduk perkotaan, mengharuskan strategi pelayanan kesehatan dan gizi yang akan datang mengikuti karakteristik penduduk perkotaan yang berbeda dengan perdesaan. 

Analisis masalah gizi dan kesehatan sebagian diterjemahkan ke jumlah penduduk, sehingga lebih jelas permasalahannya. Jumlah penduduk dikutip dari hasil Sensus Penduduk tahun 2000 dengan perkiraan jumlah penduduk 203.456.005, serta laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Analisis memperhatikan jumlah penduduk menurut SP 1980: 146.934.948 orang, SP 1990: 178.631.196 orang, dan laju pertumbuhan penduduk 1980-1990 yaitu 1,97 (BPS, 2001). Proyeksi sampai dengan 2015 berpedoman pada keadaan penduduk 2000 dengan menggunakan laju pertumbuhan penduduk yang terakhir.

Analisis Status Gizi dan Kesehatan

1. Status Kesehatan penduduk
Status kesehatan dinilai berdasarkan usia harapan hidup, angka kematian bayi dan angka kematian balita. Figure 3 menunjukkan kecenderungan ketiga indikator tersebut, yang menunjukkan terjadinya peningkatan kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya usia harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi dan balita. 

Figure Kecenderungan Usia Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka kematian balita (AKABA) – Indonesia 1980-2002

 Sumber: WDR 1987, UNICEF 2000, IHDR 2001, BPS 2000, SDKI 2002/2003

Peningkatan status kesehatan ini tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Pada Figure 4 berikut ini menunjukkan pada tahun 2002, ada 65% kabupaten di Indonesia dengan AKB antara 25-50 per 1000 LH, bahkan 24% kabupaten dengan AKB >50%. Perbedaan yang menyolok juga terlihat antara Kota-Desa. Kajian Susenas 1995, 1998 dan 2001 menunjukan perbedaan Angka kematian Bayi maupun angka kematian balita sekitar 20 per 1000 antara Kota dan Desa. 

Indikator kesehatan lain yaitu angka kematian ibu (AKI) yang tidak mengalami perubahan yang berarti. Kecenderungan AKI per 100.000 kelahiran hidup diperkirakan dari SKRT yaitu: 618 (1986); 325 (1995); dan 377 (2001); atau dari SDKI yaitu: 380 (1994); dan 318 (1997) 

Figure Persen kabupaten berdasarkan perubahan AKB 1999 dan 2002

2. Status gizi penduduk
Berikut ini merupakan kajian status gizi penduduk menurut kelompok umur sampai dengan 2003 berkaitan dengan masalah gizi makro (khususnya Kurang Energi dan Protein) dan gizi mikro (khususnya Kurang Vitamin A, Anemia Gizi Besi, dan Gangguan Akibat Kurang Yodium). 

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR <2500 gram)
Secara umum, Indonesia masih belum mempunyai angka untuk BBLR yang diperoleh berdasarkan survei nasional. Proporsi BBLR diketahui berdasarkan estimasi yang sifatnya sangat kasar diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan juga dari studi terserak. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, proporsi BBLR berkisar antara 7 – 16% selama periode 1986-1999, demikian juga dari studi terserak yang menunjukkan angka BBLR antara 10-16%. Jika proporsi ibu hamil yang akan melahirkan bayi adalah 2,5% dari total penduduk, maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai 710.000 dari 5 juta bayi lahir dengan kondisi BBLR. Kejadian BBLR ini erat kaitannya dengan gizi kurang sebelum dan selama kehamilan. Dampak dari tingginya angka BBLR ini akan berpengaruh pada tinggi rendahnya angka kematian bayi.

Status gizi pada balita 
Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Gizi kurang pada balita ini dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan. Menurut Susenas, pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37,5% menurun menjadi 27,5% tahun 2003. Terjadi penurunan gizi kurang 10% atau sebesar 26,7% dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2003.

menunjukkan jumlah penderita gizi buruk dan gizi kurang dengan memperhatikan jumlah penduduk dan proporsi balita pada tahun pengamatan yang sama. Dapat dilihat terjadi penurunan gizi kurang yang cukup berarti dari tahun 1989 : 7.986.279 menjadi 4.415.158 pada tahun 2000. Akan tetapi terjadi peningkatan kembali sesudah tahun 2000, dan pada tahun 2003 jumlah gizi kurang pada balita menjadi 5.117.409. Distribusi besaran masalah gizi menurut kabupaten dapat dilihat pada Figure 5.  

Perlu dicatat jumlah penderita gizi buruk yang terlihat meningkat cukup tajam dari tahun 1989 ke tahun 1995, kemudian cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Diperkirakan gambaran prevalensi gizi buruk ini ‘kurang akurat’ dan cenderung ‘over-estimate’. Prevalensi gizi buruk pada balita ini perlu di konfirmasi dengan hasil survei lainnya. SKRT pada tahun 2001 melaporkan prevalensi gizi buruk 8,5%, lebih tinggi dari Susenas pada tahun yang sama. HKI, di beberapa wilayah perdesaan di Sumatera barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi Selatan melaporkan prevalensi gizi buruk yang juga fluktuatif dari tahun 1998 sampai dengan 2001, berkisar dari 3.2% di Jawa Tengah sampai 9.1% di Lombok. Sementara pada daerah kumuh perkotaan, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar, prevalensi gizi buruk berkisar dari 4.3% di Jakarta sampai 11.8% di Makassar pada tahun 2002. 

Sedangkan prevalensi gizi kurang yang diperoleh dari Susenas, ada kemungkinan ‘under estimate’ jika dibandingkan dnegna survei/studi yang sama. Dari survei/studi ini, pada umumnya menunjukkan prevalensi gizi kurang lebih tinggi 5-7% dari perkiraan Susenas. 



Kajian gizi kurang lainnya adalah dari beberapa studi/survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif/peka dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti terlihat pada tabel 3 prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2SD) sesudah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting di atas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita. 

Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Tabel 4 menunjukkan prevalensi anak balita stunting dari tahun 1992 sampai dengan 2002 dari beberapa survei. Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek. 

Dari data NSS/HKI, tinggi badan rata-rata anak balita ini pada umumnya mendekati rujukan hanya sampai dengan usia 5-6 bulan, kemudian perbedaan tinggi badan menjadi melebar setelah usia 6 bulan, baik pada anak laki-laki maupun perempuan (Figure 6). Kondisinya sama dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. 

Tinggi badan rata-rata anak laki-laki dan perempuan 0-60 bulan dibanding rujukan, NSS/HKI 1999-2002






Catatan:
tinggi badan rata-rata tersebut di atas diperoleh berdasarkan pengukuran tinggi badan di wilayah pedesaan provinsi Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lombok (NTB), dan Sulawesi Selatan yang dilakukan HKI pada tahun 1999 sampai dengan 2002. 

Status gizi pada anak baru masuk sekolah (TBABS 1994, 1999)
Akibat dari tingginya BBLR dan gizi kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Indonesia telah melaksanakan pengukuran tinggi badan pada kelompok anak ini secara nasional pada tahun 1994 dan 1999. Tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran tersebut. Pada tahun 1994, prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun (anak pendek) adalah 39,8% (lihat tabel 5). Pengukuran yang sama dilakukan pada tahun 1999, prevalensi ini hanya berkurang 3,7%, yaitu menjadi 36,1%. Terlihat juga prevalensi pendek ini semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, baik pada anak laki-laki maupun perempuan.

Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik dibanding anak di desa. Figure 7 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut umur pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun 1994 ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak yang dikategorikan sangat pendek. 

Distribusi Z-score Tinggi Badan menurut umur anak usia 6-9 tahun dibanding rujukan di Kota dan Desa tahun (TBABS, 1994 dan 1999).



Status gizi pada Usia Produktif

Masalah gizi kurang berlanjut pada kelompok umur berikutnya. Tidak tersedia secara khusus informasi atau data yang dapat digunakan untuk anak usia sekolah (laki-laki dan perempuan) 7-18 tahun. Data yang tersedia hanya untuk WUS usia 15-49 tahun. Dua cara dilakukan untuk mengetahui status gizi pada WUS yaitu dengan mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan mengukur berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan indeks massa tubuh (IMT). Status gizi kurang berdasarkan LILA < 23.5 cm digunakan untuk menggambarkan risiko kekurangan energi kronis (KEK). WUS dengan risiko KEK diasumsikan cenderung untuk melahirkan bayi BBLR. Sedangkan dengan IMT, status gizi WUS dapat diklasifikasikan sebagai kurus jika IMT <18.5 dan gemuk jika IMT >25. 

Analisis secara nasional (1999 – 2003) menggambarkan bahwa proporsi LILA <23,5 cm adalah 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua. (Lihat Figure 8). Prevalensi LILA <23.5 cm pada tahun 2003 sampai mencapai >35% pada WUS usia 15-19 tahun. 

Proporsi WUS risiko KEK (Lila <23.5 cm): 1999-2003


Pola yang hampir sama adalah kajian wanita perkotaan menurut IMT pada survei tahun 1996/97 di seluruh ibu kota provinsi di Indonesia, seperti yang disajikan pada Figure 9. Terlihat proporsi IMT <18.5 (kurus) lebih tinggi pada usia muda 18-24 tahun, kemudian menurun untuk usia berikutnya sampai dengan 40-44 tahun, dan meningkat lagi pada usia 45–49 tahun. 

Masalah gizi pada usia produktif sebenarnya tidak saja karena kurus (IMT<18.5) akan tetapi juga kegemukan (IMT>25) bahkan obesitas (IMT>27 atau IMT >30). Pada survei di 27 ibu kota provinsi tahun 1996/1997, dua masalah gizi ini sudah terlihat dengan jelas. (Figure 10).

Proporsi IMT <18.5 pada wanita perkotaan, survei IMT 1997


Masalah gizi kurang dan gizi lebih usia dewasa di perkotaan, 1996/1997

Dua masalah gizi (“double burden”) ini juga tidak saja terjadi pada usia produktif di ibu kota provinsi, akan tetapi di wilayah kumuh perkotaan maupun perdesaan juga sudah mulai terlihat dan ada kecenderungan meningkat terutama untuk masalah kegemukan. Hal ini dapat dilihat pada Figure 11, analisis dari data HKI 1999 dan 2001 yang memisahkan dua ekstrim prevalensi kurus (IMT<18.5) dan prevalensi obesitas (IMT >30) pada wanita usia produktif. Pada daerah kumuh perkotaan (Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya), masalah kurus banyak terjadi pada usia muda, dan masalah obesitas sudah mulai terlihat pada usia 30 tahun ke atas dengan prevalensi >5%. Masalah obesitas pada usia >30 tahun ini meningkat dari tahun 1999 ke tahun 2001. Di wilayah perdesaan (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Lampung, Sumbar, Lombok, Sulsel), masalah yang sama sudah mulai tampak, hanya prevalensinya lebih rendah dari wilayah kumuh perkotaan. 

Masalah gizi kurang dan obesitas pada wanita usia produktif, HKI 1999 dan 2001 



Masalah gizi mikro
Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat besi. Menurut World Summit for Children (WSC) goal, diharapkan pada tahun 2000 seluruh negara sudah tidak lagi mempunyai masalah gizi mikro, yang ditandai dengan sudah universalnya konsumsi garam beryodium, seluruh anak dan ibu nifas telah mendapat kapsul vitamin A, tidak dijumpai lagi kasus xeropthalmia, menurunnya prevalensi anemia gizi besi pada wanita usia subur sebesar sepertiga dari kondisi tahun 1990. 

Untuk masalah kurang vitamin A, Indonesia dinyatakan bebas dari xeropthalmia pada tahun 1992. Walapun bebas dari xerophthalmia, survei nasional vitamin A tahun 1992 masih menjumpai 50% dari balita mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi balita dengan serum retinol <20 mcg/100 ml ini menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia, dan menjadi sangat tergantung dengan kapsul vitamin A dosis tinggi. Selain itu penyuluhan untuk mengkonsumsi sayur dan buah berwarna menjadi sangat penting untuk mempertahankan Indonesia tetap bebas dari xeropthalmia. Ada kemungkinan penyuluhan kurang berhasil, maka cakupan kapsul kurang vitamin A yang <80% akan membuka kemungkinan munculnya kasus xeropthalmia. Hal ini terbukti dengan laporan NTB pada tahun 2000 lalu yang masih menemukan kasus xeropthalmia. Ada kemungkinan provinsi lain yang belum berhasil mencakup >80% kapsul vitamin A terdistribusi pada balita akan menemukan kembali kasus xeropthalmia. 

Besaran masalah kurang yodium di Indonesia dipantau berdasarkan survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998 dan 2003. Terjadi penurunan yang cukup berarti, dimana pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%. Prevalensi ini menurun menjadi 27.9% pada tahun 1990, dan selanjutnya menjadi 9,8% pada tahun 1996/1998. Survei tahun 2003 prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11.1%, walaupun dilaporkan pada daerah endemik berat, prevalensi GAKY turun cukup berarti. 

Survei tahun 2003 merupakan survei nasional yang mengevaluasi dampak dari intensifikasi program penanggulangan GAKY setelah dilakukan data dasar tahun 1996/1998. Kegiatan utama dari program ini adalah mengupayakan peningkatan konsumsi garam beryodium, dan juga memberikan kapsul yodium terutama pada daerah endemik berat dan sedang yang dinilai berdasarkan data dasar 1996/1998. Garam beryodium sampai dengan tahun 2003, dikonsumsi oleh 73.2% rumah tangga secara adekuat/cukup. Angka ini cukup bervariasi antar wilayah kabupaten, mulai dari <40% sampai yang sudah >90% rumah tangga menkonsumsi garam beryodium. Figure 12 berikut menunjukkan hasil yang positif untuk penggunaan garam beryodium. Terjadi peningkatan jumlah kabupaten menjadi 104 pada tahun 2003 dimana lebih dari 90% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium.

Intervensi pada wilayah endemik berat dan sedang adalah dengan mendistribusikan kapsul yodium, khususnya pada ibu hamil, wanita usia subur, dan anak usia sekolah. Pemantauan pemberian kapsul ini masih kurang baik. Survei evaluasi 2003, menemukan hanya 30% cakupan kapsul yodium ini sampai pada sasaran, sementara pada laporan program, cakupan ini berkisar antara 60-75%. 

Masalah GAKY masih cukup serius di Indonesia. Untuk mencapai universal konsumsi garam beryodium pada tahun 2005 memerlukan strategi yang komprehensif. Dari hasil analisis survei 1996/1998 dan survey evaluasi 2003 menunjukkan adanya peningkatan jumlah kabupaten yang dulunya tidak endemik, atau endemik ringan, menjadi daerah endemik sedang atau berat. Walaupun ada penurunan prevalensi GAKY pada daerah endemik berat dan sedang, surveilans GAKY ini sangat diperlukan, sehingga daerah yang berisiko untuk menjadi endemik dapat selalu terpantau.

Distribusi kabupaten menurut rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium cukup: 1998-2003.



Total Goitre Rate (TGR) pada 268 kabupaten yang sama dari survei 1996/1998 dan 2003


Sumber: National IDD survey 1998, and National IDD evaluation survey 2003
Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Dua survei nasional (Survei Kesehatan Rumah Tangga/SKRT) tahun 1995 dan 2001 hanya dapat menunjukkan kecenderungan prevalensi anemia pada balita, perempuan usia 15-44 tahun dan ibu hamil (Figure 13). Prevalensi anemi pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001); pada wanita usia subur 15-44 tahun dari 39.5% (1995) menjadi 27.9% (2001). SKRT 2001 juga mengkaji prevalensi anemia pada balita dengan kelompok umur: < 6 bulan, 6-11 bulan, 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-59 bulan. Figure 14 menunjukkan bahwa pada bayi <6 bulan (61.3%), bayi 6-11 bulan (64.8%), dan anak usia 12-23 bulan (58%). Selanjutnya prevalensi menurun untuk anak usia 2 sampai 5 tahun. 


Prevalensi Anemia menurut SKRT 1995 dan 2001

Prevalensi anemia pada anak balita, SKRT 2001

Informasi lain adalah dari hasil survei NSS- HKI tahun 1999 dan 2000 pada beberapa provinsi di Indonesia yang melakukan analisis prevalensi anemia pada WUS dan balita (tabel 6). Pada balita prevalensi anemia masih cukup tinggi dan berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%.

Indonesia masih belum secara komprehensif menanggulangi masalah anemia gizi ini. Pemetaan secara nasional untuk masalah anemia menurut provinsi maupun kabupaten masih belum dilaksanakan. Hasil pemetaan yang dilakukan provinsi Jawa Barat tahun 1997, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 62,2%, dan pemetaan yang dilakukan di Jawa Tengah tahun 1999 menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 58,1%. Intervensi anemia secara nasional masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya masih sulit dipantau.

0 komentar:

Posting Komentar